Awan mendung itu sudah menggantung tebal dari sejak burung besi yang aku tunggangi bersiap menjejakkan cakarnya di Bandara Internasional Yangon, Myanmar, 18 Agustus 2017 pagi. Benar saja, di tengah perjalanan menuju hostel di pusat kota, gerimis turun membasahi jendela taksi kami. Ketika sopir memberhentikan taksi tepat di mulut Jalan 32 (lebih tepat disebut Gang 32 atau Lorong 32 karena lebarnya yang tidak memadai), hujan sudah mantap mengguyur bekas ibukota Myanmar itu.
Akhirnya, berbekal tiket pesawat Rp 2 juta yang kuperoleh melalui Skyscanner, aku berhasil menjejakkan kaki di kota terbesar dan tersibuk di Myanmar ini. Tak ada penerbangan langsung dari Jakarta atau Bandung ke Yangon, sehingga aku harus membeli total 4 penerbangan pulang-pergi untuk perjalanan ini. Penerbangan Bandung – Kuala Lumpur dan sebaliknya aku percayakan kepada AirAsia, sementara Malindo Air menjadi tungganganku untuk mencapai Bandara Internasional Yangon dari Kuala Lumpur dan sebaliknya.
Di bawah guyuran hujan berintensitas ringan dan Ricky yang kepayahan menyeret koper besarnya di atas trotoar tak rata, aku mencari-cari Space Boutique Hostel yang sudah kami pesan. Setelah beberapa kali wara-wiri dan bertanya kepada penjaga toko, kami akhirnya menemukan hostel mungil itu. Menempati lantai 3 dari sebuah ruko berbadan ramping, di atas sebuah toko baju milik seorang bapak India.
Saat itu masih sekitar pukul 10:00 pagi. Meski raga didera letih, namun aku sudah siap bila kami belum diperbolehkan check-in dan harus puas dengan sekedar menitipkan barang bawaan kami. Tuhan baik! Usai membayar seluruh biaya sebesar 32 USD untuk 2 orang dan 2 malam, seorang staf laki-laki mengantarkan kami menuju kamar untuk check-in. Cowok itu nganterin doang kok, nggak ikut check-in. #eh
Sukacitaku meluap saat melihat dan merasakan ranjang yang akan kutempati selama 2 malam ke depan. Empuk, sejuk, bersih, dengan selimut dan sepasang handuk berwarna biru cerulean yang terlipat rapi di atasnya. Oh, badan yang energinya sudah banyak terkuras ini langsung terbaring pasrah di atasnya. Aku membiarkan kami berdua menikmati waktu dengan santai. Kami rehat, mandi, rehat lagi, membalas pesan-pesan dan notifikasi yang selama beberapa jam terakhir terhambat masuk ke dalam gawai. Lagipula hujan juga belum reda, menyempurnakan momen untuk memanjakan diri saat itu.
Perkenalan dengan Ben
Kecuali kami berdua yang menempati dua ranjang pertama di dekat pintu, hanya ada seorang penghuni pria yang terduduk di atas ranjangnya di sudut kamar. Ada juga penghuni lain di seberang ranjangnya, namun sedang tidak berada di tempat.
“Hello,” aku membuka sapa dan dia meresponnya. “We’re just arrived from Indonesia,” aku melanjutkan, melihat respon positif yang diberikan pemuda itu. Kalian yang terbiasa tinggal di hostel, pasti akan bisa mengira-ngira mana penghuni yang sepertinya ramah dan enak diajak ngobrol, mana yang pendiam, dan mana yang terlalu berisik, hehehe.
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Ben, berasal dari Amerika Serikat, namun tinggal dan bekerja di Australia. Badannya tinggi besar dan brewok hitam tumbuh lebat menyelimuti dagu dan jambangnya, tapi sepertinya dia sebaya dengan kami, bahkan mungkin berusia lebih muda. Entahlah, aku tidak menanyakan informasi spesifik soal umur.

Pria di sudut kanan itulah Ben. Foto ini merupakan satu-satunya potret Ben yang berhasil terselamatkan karena foto-foto lainnya ada di ponsel, dan hilang di dalam perjalanan :D.
Usai mandi dan memantaskan diri, aku mengajaknya bergabung dengan kami mengunjungi Sule Pagoda. Ia menyambut dengan antusias. Jadi, here we are, tiga orang pemuda yang baru berkenalan di hostel dan sekejap kemudian memutuskan untuk berjalan bersama.
Spot 1: Sule Pagoda
Menjulang setinggi 46 meter dengan zedi berbalut emas, Sule Pagoda atau Sule Paya menjadi ikon Yangon yang tak dapat dilewatkan. Kuil berusia lebih dari 2.500 tahun ini (lebih tua dari Shwedagon Pagoda yang agung) tetap berdiri anggun di tengah bangunan kolonial Inggris, gedung-gedung tinggi, rusun-rusun kumuh, dan kemacetan lalu lintas yang mengepungnya dari semua sisi.

Sule Pagoda di Yangon, Myanmar
Sule merupakan kuil tempat menyimpan Helai Rambut Siddharta Gautama (Buddha) sehingga memegang peranan penting bagi umat Buddha di Yangon, bahkan Myanmar. Stupa utamanya yang berbentuk oktagonal (segi delapan) itu dikelilingi dengan 4 pyatthat (struktur atap berundak khas Burma) yang menjadi mahkota keempat pintu gerbangnya. Sementara struktur modern yang melingkari stupa digunakan untuk pertokoan.
Banyak ulasan blogger mancanegara yang menyarankan untuk tidak perlu masuk ke dalam kuil karena tidak banyak yang bisa dilakukan di dalamnya. Lagipula, yang populer dari Sule Pagoda ini adalah potretnya yang berpadu manis dengan modernisasi dunia di sekitarnya, bukan interior di dalam kuil. Jadi, tanpa repot-repot mengkritisi anjuran itu, aku begitu saja mematuhinya hahaha. Lagipula aku tak punya banyak waktu juga di sini.
Sebelum melihatnya secara langsung dengan mata kepala sendiri, aku bertanya-tanya bagaimana para fotografer Google itu mengambil foto Sule dari ketinggian. Ternyata eh ternyata, ada jembatan penyeberangan terbuka yang berada persis di depan kuil. Sayang saat itu langit sedang diselimuti awan putih.
Tepat di depan Sule Pagoda ada sebuah halte yang ramai dengan calon penumpang dan bus berbagai nomor yang hilir mudik. Bus no. 36 yang melalui Yangon Central Railway Station, Shwedagon Pagoda, Kandawgyi Park, Inya Lake, dan Kabar Aye Pagoda bisa dinaiki dari sini. Halte bus Sule ini adalah pusat dari berbagai rute bus, sehingga memang sangat disarankan untuk mencari penginapan di sekitar Sule Pagoda, seperti yang kami lakukan.
Meskipun kami tidak sedang ingin naik bus saat itu, namun aku berhenti sebentar di halte. Sekedar untuk mengamati dan mengambil foto keseharian warga lokal saat menunggu bus, berjuang naik dan turun bus (karena seringkali berjejalan dan bus tidak berhenti sempurna), dan menyeberang jalan di hadapan klakson-klakson nyaring tidak sabaran.

Halte bus di depan Sule Pagoda.

Warga lokal menyeberang di depan Sule Pagoda.
Mengunjungi Sule Pagoda sebaiknya dilakukan saat hari terang dan sudah beranjak malam untuk dapat melihat keindahannya pada dua kondisi. Saat gelap, pagoda itu akan berpendar keemasan dengan begitu indah dan mulia. Lepas makan malam pun aku sudah berencana untuk mampir sebentar ke Sule. Namun aku lalu kelupaan dan saat sudah mengingat rencana itu di hostel, aku sudah terlalu malas untuk berjalan keluar dan naik turun tangga 3 lantai, hehehe.
Spot 2: 999 Shan Noodle Shop
Aku mengetahui kedai makan ini dari ulasan seorang blogger asing yang kubaca saat menyusun itinerari (kalau nggak salah, Mark Wiens dari Migrationology). Ternyata, lokasinya sangat dekat dari Sule Pagoda. Maka, setelah puas mengambil foto Sule Pagoda, aku mengajak Ricky dan Ben untuk makan siang di situ.
999 Shan Noodle Shop menempati sebuah unit ruko yang bersih, meskipun nggak terlalu luas. Harga seporsi mie di sana mulai dari 2000 Kyat (Rp 20.000), masih terbilang standar untuk ukuran sebuah warung makan kelas menengah di Yangon. Aku sendiri memesan seporsi Fried Shan Noodle dan Burmese Tea, total harganya sekitar 2500 – 3000 Kyat (thanks to Ricky yang berbaik hati membayar seluruh tagihan).

Pesananku di Shan Noodle Shop 999, Yangon.
Nggak cuma mie-nya yang enak, kerupuk babinya yang disediakan di setiap meja juga enak bangeeettt. Teh Myanmar-nya mirip banget sama Teh Tarik atau Thai Tea, kenikmatannya meresap hangat ke dalam kerongkongan, memperbaiki suasana hati dan mengembalikan energi. Oh ya, waitress-nya berbahasa Inggris dengan baik, meski dengan logat Burma :D.
Spot 3: Yangon City Hall
Balai Kota Yangon adalah sebuah paduan harmonis antara gaya arsitektur Eropa dan Burma, mahakarya seorang putra bangsa bernama U Tin. Bangunan putih yang selesai dibangun pada 1936 ini tampil semakin megah dengan atap berundak pyatthat yang memahkotai kepalanya. Wujudnya yang unik membuat Yangon City Hall layak menjadi latar foto untuk diunggah di linimasa kesayanganmu.

Yangon City Hall dilihat dari Sule Pagoda.

Yangon City Hall (Balai Kota)
Tepat di seberang Balai Kota ada sebuah halte di mana warga lokal berkerumun untuk naik ke dalam bus kota.
Spot 4: Mahabandula Park
Meskipun pakai embel-embel “park”, tapi menurutku tempat ini lebih tepat disebut Mahabandula Square atau Plaza karena bentuknya yang lebih mirip alun-alun. Rumput adalah tumbuhan yang menguasai tempat ini dengan sebuah monumen menyerupai Monas di Jakarta yang berdiri jangkung di tengah taman.

Yangon City Hall di sebelah kiri, Immanuel Baptist Church di sebelah kanan.

Maha Bandula Park, Yangon,
Pasangan, keluarga, kelompok pertemanan, dan mereka yang seorang diri, semuanya berbaur di sini. Ada yang berjalan santai, ada juga yang duduk menikmati suasana. Ada yang duduk di rerumputan, ada juga yang duduk di undakan monumen. Beberapa pasangan duduk bermesraan di bawah naungan payung yang mereka jadikan batas imajiner untuk privasi. Jangan tanya apakah ada pedagang asongan di sini. Ada banget! Tapi aku sendiri tidak memperhatikan makanan macam apa yang dijajakan karena lebih fokus mengambil foto.
Nama Maha Bandula diambil dari nama Jenderal Maha Bandula yang berjasa dalam Perang Anglo-Burmese Pertama (1824-1826). Luasnya sekitar 3 hektar, dengan sebuah monumen mirip Monas-nya Jakarta yang berada persis di tengahnya. Usut punya usut, ternyata itu memang monumen kemerdekaan yang didirikan tahun 1948 untuk merayakan kebebasan Myanmar dari Inggris. Monumen dibangun untuk menggantikan patung Ratu Victoria yang sebelumnya ada di posisi itu. Arsitek monumen ini sama seperti arsitek Yangon City Hall, U Tin.
Ada satu realita Myanmar menarik yang aku temui di sini. Mayoritas pria Myanmar mengenakan longyi sebagai ganti celana. Longyi, jelas tidak memiliki kantung-kantung apapun, hanya selembar kain yang sejuk lalu dililitkan untuk menutupi pinggang sampai kaki. Maka, untuk menyimpan dompet dan gawainya, mereka tidak memiliki pilihan lain selain hanya menyelipkannya di bagian belakang. Uniknya, semua orang merasa aman, tidak ada yang mencopetnya. Ini jelas menjadi Aha Moments bagiku, di mana saat pulang kembali ke tanah air, aku menyadari bahwa keamanan merupakan salah satu hal yang diragukan masyarakat kita kepada sesamanya sendiri.

Gedung-gedung tinggi modern menjulang di salah satu sisi taman.

Patung singa penjaga di Maha Bandula Park, Yangon.

Warga lokal berkerumun menunggu bus di halte depan Balai Kota.

Jajaran warung tenda di Maha Bandula Park Street.
Warung-warung tenda berjajar di salah satu sisi taman, yaitu di Maha Bandula Park Street. Didorong rasa penasaran, kami bertiga duduk di atas bangku-bangku mungil milik sebuah warung. Kami memesan 3 porsi mohinga yang, walaupun penampilannya nggak meyakinkan dan komposisinya sederhana, tapi enak bangeeettt dan cuma 500 Kyat (Rp 5.000) per porsi, hehe.
Menariknya, para penjual tidak saling berebut pelanggan di sini, tidak meneriakkan barang dagangannya dengan berisik. Saat kami menghampiri sebuah kedai dan menanyakan apakah ia menjual mohinga, bapak penjual itu dengan ramah mengarahkan tangannya pada sebuah kedai di seberangnya.
Spot 5: Immanuel Baptist Church
Bangunan yang berbalut warna putih ini selesai dibangun pada tahun 1885 dan menjadi gereja baptis tertua di Yangon, Myanmar. Immanuel Baptist Church berdiri di samping bangunan ikonik lainnya, (6) Yangon High Court Building (Gedung Mahkamah Agung), di sisi jalan Maha Bandula Park Street. Aku agak kesusahan mengambil foto bangunan merah Mahkamah Agung, tidak menemukan sudut yang pas seperti di laman pencarian Google, jadi tidak aku tampilkan di sini.

Immanuel Baptist Church, Yangon.
Entah kenapa saat itu aku sama sekali tidak tergoda untuk masuk ke dalam gereja untuk mengintip interiornya. Mungkin karena lelah dan mendung, hasratku untuk bertualang menjadi semakin terkikis.
Spot 7: Mengakhiri Hari di Chinatown Street 19
Beberapa rekan di komunitas Travel Bloggers Indonesia menjulukiku dengan sebutan Pecinan Obsessive, haha. Ini karena betapa senangnya aku dengan komunitas sosial budaya sekaligus kawasan wisata yang satu ini. Di setiap negara, bahkan di setiap kota, pecinan (Chinatown) tak lepas dari rencana perjalananku. Entahlah, etnis tionghoa menarik bagiku. Di sebuah pecinan, aku bisa menemukan bangunan-bangunan tua yang berdiri renta diterpa usia, klenteng yang menebarkan aroma dupa, dan kekayaan rasa yang menggugah selera!
Apalagi, keyakinan yang kuanut tidak membatasiku dalam melakukan petualangan kuliner di pecinan :D.
Pada dasarnya, Yangon adalah sebuah kota yang dipenuhi rusun-rusun berdinding kusam, gedung-gedung lawas dengan cat mengelupas, dan makanan nikmat di setiap sudutnya. Jadi, secara penampilan, pecinan di sini tidak tampak terlalu kontras dengan lingkungan lainnya. Namun, Street 19 menjadi pusat pecinan yang menyajikan pemandangan sedikit berbeda saat malam hari. Di sinilah tempatnya untuk pesta barbekyuan!

Kedai-kedai barbekyu yang memenuhi Street 19th.

Pelayan kedai yang bersiaga di depan sate-sate siap saji.
Warung-warung barbekyu di Street 19 berjajar rapat di kedua sisi, aku sampai bingung menentukan warung mana yang harus dipilih. Meskipun pecinan, namun para pelayannya adalah orang Burma yang memiliki penampilan fisik seperti orang Indonesia. Kami lalu memilih sebuah kedai dan menempati 3 kursi di area luar yang mengelilingi sebuah mejanya.
Pengunjung memilih sendiri sate apa saja yang akan dinikmati, ditempatkan ke sebuah piring yang disediakan, lalu diserahkan kepada pramusaji. Hampir sama dengan warung-warung pecel di Indonesia di mana kita mengambil sendiri ayam, lele, usus, tempe, tahu, dan apa saja yang ingin digoreng. Sate-sate yang disajikan tidak semuanya haram kok, karena juga ada daging ayam, tahu, telur puyuh, dan sebagainya. Sate-sate itu lalu dibakar secukupnya sebelum disajikan kepada pengunjung.
Nah, barbekyuan itu paling nikmat ditemani dengan satu (atau 2, atau 3) botol bir, hihihi. Jadilah kami memesan masing-masing 1 kaleng Myanmar Beer untuk dinikmati. Mungkin karena kurang puas, atau tergoda dengan promo mbak-mbak SPG, Ben memesan sebotol besar bir Tuborg. Untuk sate dengan jumlah secukupnya dan bir, kami iuran sekitar 4.000-an Kyat per orang. Buat yang doyan kuliner dan ingin puas pesta barbekyu di sini, mungkin bisa menyiapkan kocek sampai 10.000 Kyat per orang.
Perhatikan, ada banyak pengemis di Street 19 Yangon ini. Mereka cukup gigih, berdiri diam agak lama di samping kami sampai salah satu dari kami memberinya sedekah. Memperhatikan apa yang kami lakukan, sepasang turis Amerika memberi peringatan kepada kami — tepatnya kepada Ben, yang baru saja memberi mereka “sedekah”. Mereka itu ngotot, lebih baik nggak usah ngasih atau nanti akan datang pengemis lainnya, ungkap mereka kepada Ben.
Dari sekedar memberi peringatan, pria berkulit putih dan berkulit hitam itu (maaf, ini bukan rasis, ini justru ingin menggambarkan betapa harmonisnya mereka) lalu terlibat obrolan dengan Ben. Mereka bertiga berkenalan, berbincang ringan, aku sampai agak tidak enak karena berada di antara mereka, haha.

Sate-sate santapan kami.

Myanmar Beer, nikmat diteguk bersama makanan yang dibakar.

Pelayan-pelayan kedai dalam balutan longyi.
Selesai dari Chinatown, kami berjalan kembali ke hostel karena tak lagi menemukan hal menarik di malam hari di sekitar situ. Saat itu baru sekitar pukul setengah sepuluh malam. Meski sempat didera gerimis dan gagal mengunjungi Shwedagon Pagoda di hari pertama, aku cukup puas dengan petualangan kami hari itu karena berhasil mengunjungi tempat-tempat di sekitar hostel dengan santai, tanpa terburu-buru.
Nah, setelah kamu merasa cukup menjelajah Yangon, kamu bisa mengunjungi kota-kota menarik lainnya di Myanmar seperti Inle Lake, Bagan, dan Mandalay. Transportasi umum di Myanmar ada kereta api, bus, dan van, namun sistem pemesanannya belum berkembang baik. Maka, gue sarankan beli secara online di bernama Bookaway. Bus, kereta api, mobil, kapal, ada semua.
Selain ketujuh tempat di atas, kamu juga bisa sekalian mengunjungi (8) Bogyoke Aung San Market, (9) Holy Trinity Anglican Church, dan (10) Yangon Central Railway Station yang masih berada within walking distance. Bogyoke Market akan aku ceritakan dalam tulisan berikutnya karena ada 2 pengalaman berkesan di pasar ini, hehe. Gimana pendapat kamu untuk tempat-tempat di atas? Mana yang paling menarik? Tunggu cerita selanjutnya di blog ini ya 🙂
Wah, baru tahu kalau Skyscanner ada fitur bulan termurah sepanjang tahun 😀
BSering banget ngandelin Skyscanner buat price alert ke destinasi impian, biar gak ketinggalan kalau ada harga yang drop turun banget. 😀
Aku selalu pake Skyscanner sebagai panutan awal kak. Membantu banget.
Seru juga petualangan di Yangon. Kalau dibayangin suasananya semacam Indonesia jadul gitu ya ? Btw ama Ben gak follow2 an di Instagram ? kali aja dia punya foto2 kalian pas disana
Kurang lebih begitu, mas. Indonesia versi lawas. Nggak follow-followan wkwkwk
Sekilas sule dan shwedagon bentuknya mirip, saya kira sule dan shwedagon itu pagoda yg sama, sule itu nama lain dari shwedagon, ternyata beda.
Shwedagon lebih besar, Ji. Gedeeee bangeettt! Dia sekomplek luas gitu, kayak Grand Palace kalo di Bangkok. Kalo Sule cuma 1 kuil, macam Wat Pho atau Wat Arun.
hahaha iya aku gak tau, soalnya cuma liat foto doang. duh, aku belum ke Thailand juga jadi gak tau gimana luasnya grand palace sama wat pho
Wahahaha ayo ke Thailand, bro. Cocok buat yang suka eksplor kota kayak kita.
Iya nih dari dulu udah direncanain trip 3 negara, soalnya sayang kalau ke Thailand gak ke Kamboja sama vietnam
Ikuti jejakku, kak. Hehehe. Sekalian Laos kalo perlu 😀
mantap bang, ternyata banyak tempat seru yang bisa dikunjungin di sana.
dan banyak jg bangunan yg mirip sama di indo haha
sukses lombanya 😀
iya hehehe, kurang lebih mirip sih 😀
Top banget ulasannya Nugi, bisa jadi panduanku kalau mau ke Myanmar one day nanti. Hehehe
Siaaappp! Senang bisa menginspirasi 😀
Mas, katanya toilet di Airport sana ga ada semprotannya ya…, apa semua toilet disana memang begitu atau hanya di airport saja?
Kalo di hostel sih ada semprotannya, kak.
Wah, saya suka fitur bulan termurah sepanjang tahun itu. Terima kasih, Kak. Setelah ini saya akan coba buka-buka Skyscanner.
Senang bisa membantu, mas Edy 🙂
Tulisan mas Nugi ini membuat Dadaku berdenyut-denyut karena kangen kota Yangon dan sekitarnya. Banyak kenangan indah saya berkeliling di kota ini. Begitu pula saat foto-foto di dalam Sule Pagoda yang fotogenik banget
Sule Pagoda isinya bagus ya, mbak? Nanti aku ubek-ubek blog mbak Evi deh.
Aku belum sempet nulis tentang Sule maupun perjalanan ke Myanmar. Kebiasaan jelek kalau trip bayar sendiri jarang ditulis. Kalau fam trip kan kewajiban 🤣🤣
Wah ayo ditulis mbak 🙂
Handuk biru cerulean yang gimana, gi ?
Hmm..sepertinya menarik ya kesini.. kayak Jakarta 1990an…
Biru agak keunguan gitu kak
32 dolar buat nginep berdua dua malamn mah murah, ya. Liat mie ala yangoon aku jadi pengen bikin bihun goreng nih, Gi hahaha.
Aku pikir di Yangoon bakal susah nyari masjid, ternyata abis baca tulisan ini ada, ya. Bener deh, liat foto-foto Yangoon jadi kayak Indonesia tahun 80an. Mana aku abis liat film Pengabdi Setan dengan setingan tahun yang sama pula. Hahaha… Maaf kalau jadi ujug-ujug nyempil cerita film spooky itu.
Murah kak. Tulisannya ada di sini juga udah aku hyperlink. Udah murah, boutique hostel pula yang notabene tampilannya lebih cakep!
Iyaaa kayak Indonesia versi jadul. Btw setting 1980-an di Pengabdi Setan dapet banget #eh #disambungin
Seru bangeet ceritanya, ditunggu kisah-kisah traveling selanjutnya ya mas nugi!!
Siap!
Untuk orang Amerika yang tinggal di Australia, si Ben lebih ke Amerika-amerikaan, atau Australia-Australiaan? hehe.
Jadi gak perlu masuk ke dalamnya ya. *noted* dan emang kayaknya blogger yang nulis tentang Myanmar jarang kasih lihat foto bagian dalamnya *atau memang dilarang foto?
Suka dengan tampilan kota ini yang nampak teratur. Mau banget menjajal tempat wisatanya.
Hm gue kadang nggak paham sama omongan Ben karena pengucapannya cepet.
Kayaknya masih boleh foto sih, di Shwedagon aja masih boleh soalnya.
Haha, terlihat lebih teratur mungkin karena nggak ada motor ya. Padahal sama aja kayak Indonesia 😀
Ic, Amerikanya masih kental berarti.
Oh gak ada motor ya? keren juga.
Iya motor dilarang pemerintah hehe
bikin ngiler untuk segera berkunjung
Semoga disegerakan! 🙂
Eh, aku baru tau skyscanner ada fitur ginian 😀
Cobaiiinnn!
sip
Gara gara kak nugie jadi makin penasaran buat cobain aplikasi skyscanner lho
Cobain koh, membantu banget!
okeh.. next destination.. Myanmar…
Kalo saya dari dulu udah pake skyscanner sejak pertama kali jalan2.. soalnya bisa nyari tiket ke seluruh dunia..
Btw.. hampir dimana2 ada Chinatown ya.. di Beijing aja ada… hehehe..
Cina mendunia! Hahaha. Ya iyalah, maseeee. Beijing mah semuanya juga Chinatown 😀
Wah ternyata myanmar gak jauh beda dengan Indonesia ya…
Aku jadi pengen kesana nih!…
Informasinya bagus ,,… makasih ya mas!
Kayak Indonesia jaman dulu gitulah. Semoga disegerakan ya 😀
Kak Nugisuke tipsnya dongs buat dapet hostel murah dan nyaman. Ku penasaran nih.
Pake booking.com aja, kak. Terus perhatikan skornya deh, hehe.
Yangon City Hall, sekilas mirip sama London Sumatera yg di Medan. Suasananya spt di Indonesia.
Pernah ke Medan tapi nggak mampir ke Lonsum, nggak sempet 😦
klo pas liat Mywaday baru buka siaran mesti ada Yangoon City hall
ah asyik bangunanannhya emang
Wih, apaan tuh Mywaday mas?
Pemandangannya gak jauh jauh dr Indonesia. Ke sana juga pasti masih ngerasa di Indonesia kalo gak dengerin orang2 ngomong yak mas. Wkwkwk….
Ntar aku coba aplikasi ini juga ahhh.. Keknya bagus dehhh
Iya bener. Selain bahasa yang beda, hurufnya juga beda, terus pada pake sarung hahaha
Destinasinya hampir sama seperti Chinatown dan makanannya tapi suasana keramaiannya agak beda dengan Kuala Lumpur kesan merakyat terasa.
Iya, mbak. Yangon ini memang masih sangat merakyat, jauh tertinggal jika dibandingkan Kuala Lumpur.
Seru deh kayaknya. Btw itu kesan sederhananya berasa banget ya, oh ya gak ada wisata alam yg menarik ya di sana?
Oh ya salam kenal kak 🙂
Yup. Bersahaja dan oldies kayak Indonesia jaman dulu. Wisata alam ada tapi bukan di Yangon. Yangon itu ibarat Jakarta hehe.
berarti di sana banyak bule-nya juga ya, Nug?
Banyak, mbak. Nama Indonesia yang masih belum populer haha.
Salah satu nikmat traveling ketemu temen2 baru
Cerita yang paling berkesan 🙂
Terima kasih ya sudah ikutan Blog Competition “Aha Moments” Skyscanner Indonesia. Good luck 🙂
Doakan yang terbaik, koh. Hehehe
Jejak. Terima kasih sudah berpartisipasi. 🙂
Sama-sama. Semoga menang! 😀
Pengen deh tur Asia Tenggara. Aku jadi penasaran dengan tampak dalam Sule Pagoda. Kok gak masuk aja sih Kak? Cuma sebentar paling. 😀
Aku juga pengen namatin Asia Tenggara nih, kak. Tinggal Laos, Brunei, sama Filipina.
Gak tau, waktu itu gak ada hasrat masuk ke dalam hehe
lihat yagon city hall sekilas kek Lawang sewunya Semarang haha
Lumayan murah 2 malam 32 dollar
Oiya semoga menang lombanya kak 🤘
Bukan lumayan lagi kak, murah banget ituuuu. Semalem Rp 80rb dapet akomodasi kayak gitu.
Amin amin, makasih doanya 😀
OMG, Yangoon rapih banget ternyata kotanya
Rapi tapi kotor juga kak
Ku belum pernah ke negara tetangga dong kak, bikin passport aja undur-undur terus karena mager 😂
Myanmar ternyata cakep juga. Nggak banyak yang aku tau ttg Myanmar kecuali konflik rohingya.
Harus mulai cek-cek web skyscanner juga nih kayaknya biar hidupku ndak diganggu netizen mulu 😂😂
(((admin lyfe)))
ayo bikin paspor, kak. paspor adalah langkah iman!
[…] Baca tulisan sebelumnya: Mengunjungi 10 Tempat Wisata di Dekat Sule Pagoda, Yangon […]
Kalau saya paling tertarik ke bagian kulinernya *tukang makan 😀
makanan Yangon enak-enaaaakkk
Aku juga pakai Skyscanner buat ngecek harga tiket termurah. Mayan yes buat hemat hehehe
Regards,
Dee – heydeerahma.com
Skyscanner adalah koentji! hehehe
[…] Mengunjungi 10 Tempat Wisata di Dekat Sule Pagoda, Yangon […]
Myanmar, negara salah satu Negara Asia Tenggara yang jarang diulas soal pariwisatanya, ternyata ketje juga ya…
Wah, kalo aku sih udah sering baca review Myanmar dari sesama travel blogger, makanya jadi pengen ke sini juga.
[…] Dari kota-kota di negeri sendiri sampai Singapura, Kuala Lumpur, Phuket, Ho Chi Minh City, sampai Yangon di Myanmar, aku tak melewatkan kunjungan ke distrik kota tuanya meski hanya […]
[…] pertama terjadi pada bulan Agustus 2017. Saat itu, handphone gue hilang di Yangon, Myanmar, padahal baru hari kedua! Gue nggak paham apakah hapenya dicopet atau jatuh di pinggir […]
Mas yg noodle itu, tp sbnrnya ada pork nya ga? Kalo kerupuknya berarti aku ga bisa makan. Udh aku masukin sih bbrp kuliner myanmar, malah sampe book food tour mas hahahaha. Aku bener2 LG males jelajah sendiri nih. Makanya sampe beli bbrp trip dr klook :D.
Kamu jd nulis bogyoke market di blog? Aku mau baca kalo ada
Nah, mie-nya aku juga nggak tau halal apa enggak, monmaap 🤭🤭🤭
Gak jadi nulis karena terlalu banyak distraksi dan lalu males haha.
[…] Agustus 2017 lalu di Yangon, Myanmar. Saat itu, gue baru saja turun dari bus kota di halte dekat Sule Pagoda bersama satu orang travelmate gue. Kami berjalan kaki menuju Bogyoke Market sambil sesekali […]
[…] Sule Pagoda cocok jadi titik awal petualangan kamu! Lanjutkan tur jalan kaki menuju Mahabandoola Park yang dikelilingi gedung-gedung bersejarah seperti Yangon City Hall, Emmanuel Baptist Church, atau si gedung merah High Court of Yangon. Kamu bisa makan siang di warung-warung di sisi taman yang menghadap gedung merah, atau ke Rangoon Tea House untuk opsi yang lebih rapi. […]