
Jika ditanya apa hal yang paling berkesan dari sebuah perjalanan, maka aku akan menjawab, “Perjalanan itu sendiri.” Tak heran, momen berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara berikutnya, selalu tak terlupakan. Maka, dalam rangka menghidupkan kembali semangat berkelana di masa pandemi yang belum sirna, aku mengumpulkan beberapa kisah perjalanan antarkota di luar negeri yang pernah kulakoni.
Karena susah mengurutkan dari perjalanan mana yang paling berkesan, maka aku akan mengurutkan kisah-kisah ini secara kronologis. Selamat menikmati.
2014: Singapura – Johor – Kuala Lumpur
Malam itu, aku kalut di Terminal Larkin, Johor Bahru. Aku menghampiri konter demi konter di larut malam itu dengan panik, menanyakan apakah masih ada bus ke Georgetown, atau kota mana pun di Penang, yang masih tersedia. Nihil. Semuanya habis, atau memang tak ada? Sebagian besar dari konter-konter itu menyarankan untuk naik bus ke KL dulu, baru sambung ke Penang.

Oh, jangan kira Terminal Larkin ini sama bagus dan modern-nya dengan Terminal Bersepadu Selatan (TBS) di ibukota. Bayangkan sajalah bagaimana layaknya terminal bus di Indonesia, versi sedikit lebih bersih. Sedikit.
Sial, aku salah perhitungan. Ada banyak layanan pemesanan bus online dari Johor ke Penang, namun aku memilih untuk mengadu peruntungan dengan membeli langsung di terminal jelang keberangkatan. Harganya pun lebih mahal dari yang kutemukan di online travel agent. Seakan belum cukup panik, Aska masih sibuk mengeluh dan bertanya, “Terus gimana? Jadi gimana?” yang lalu kubalas dengan gertakan.
Ketibaan kami di Johor pun sudah terlambat, sehingga semakin mempersempit pilihan malam itu. Beberapa jam sebelumnya, aku ternganga melihat antrean penumpang bus ke Johor Bahru Sentral di depan Stasiun MRT Kranji. Sial, aku lupa memperhitungkan kondisi bahwa hari itu adalah hari kerja, tepatnya hari Jumat, dan kami tiba di Stasiun Kranji di jam pulang kerja. Sempurna. Padahal tahun lalu, suasananya sangat sepi dan perjalanan berlangsung cepat. Saat itu akhir pekan dan pagi hari.
Setelah mendapatkan 2 tiket bus ke Kuala Lumpur yang berangkat tengah malam, kami rehat sejenak untuk makan malam di sebuah kedai dalam terminal bus. Roda bus mulai bergerak seiring dengan tubuhku yang terduduk lemas di atas kursi yang empuk, melemparkan pandangan ke jendela. Bus melaju meninggalkan pusat kota Johor Bahru. Beberapa jam kemudian, kami sudah merapat di Terminal Bus Pudu Sentral di tengah subuh. Kami menyamankan diri dengan apa yang ada, sembari menunggu terminal buka dan kami bisa membeli tiket bus ke Penang.
2015: Bangkok – Siem Reap
Aku sedang berada di dalam taksi gelap dengan pencahayaan suram malam itu. Aku dan rekan perjalananku, Dicky, baru saja selesai melalui pos imigrasi memasuki Kamboja di Poipet setelah seharian naik kereta api ekonomi tanpa AC, yang kursinya tegak lurus seperti KA Matarmaja di tahun awal 2000an, dari Bangkok ke Aranyaprathet (kota terakhir Thailand sebelum memasuki Kamboja).

Kami sedang menunggu “penumpang ketiga” yang dari tadi dicuitkan abang sopir. Namun, penumpang ketiga ini tak pernah muncul. Akhirnya, mobil berjalan menuju Siem Reap dengan hanya kami berdua sebagai penumpangnya.
Tak lama kemudian, kami sudah berada di jalan raya 2 lajur yang minim penerangan (dan peradaban). Begini rupanya kondisi negara yang pembangunannya belum sepesat Pulau Jawa. Dua kota penting dari sebuah negara dihubungkan dengan jalan seukuran jalan kampung yang nyaris gelap-gulita.
Kelopak mataku sudah berat. Ingin rasanya tertidur lelap dan biar mas sopir membangunkanku saat tiba nanti. Tapi, rupanya Dicky yang di sepanjang perjalanan kereta tertidur pulas, saat itu tiba-tiba nyawanya seperti kembali lagi. Aku merespon ocehannya dengan setengah hati, susah payah menahan kantuk agar bisa tetap ngobrol dengan Dicky.
Saat sudah tiba di Siem Reap, taksi menurunkan kami di tepi jalan protokol 4 lajur lalu “mengoper” kami pada seorang sopir tuktuk. Berbekal alamat dan nomor ponsel host-ku di Couchsurfing yang kucatat secara offline, sopir tuktuk menelfonnya untuk menanyakan kepastian alamat.

Host kami, Phearun, menjemput kami di depan gang rumahnya. Aku sudah hampir saja memberikan sejumlah uang dalam jumlah banyak kepada sopir tuktuk itu, sebelum akhirnya Phearun “turun tangan” dan adu mulut dengan sopir tuktuk. Tengah malam. Dengan bahasa lokal.
Aku dan Dicky hanya cengo sendiri dan tak enak hati melihat mereka berdua.
Perdebatan dimenangkan Phearun, yang keterampilan mendebatnya sudah seperti mamak-mamak di pasar. Sopir tuktuk mau tak mau menerima bayaran kami yang ala kadarnya, lalu pergi dengan bersungut-sungut. Kami lalu mengikuti Phearun seperti 2 anak kecil yang disuruh ibunya pulang ke rumah setelah dirundung anak nakal.
Ternyata ada fakta menggelikan di sini.
Saat sudah tiba di rumah, Phearun dengan jujur bercerita bahwa dia sebenarnya sudah membatalkan persetujuannya untuk menampungku sebagai tamu menginapnya. Sayangnya, dia mengirimkan pesan di Couchsurfing saat aku sudah sedang melakukan perjalanan. Boro-boro membuka website Couchsurfing (waktu itu aku nggak install aplikasinya), buka chat dan medsos saja jarang-jarang. Aku jadi tidak menerima pesannya.
Namun ketika tiba-tiba dia ditelfon sopir tuktuk, dia lalu iba dengan kami yang sampai di Siem Reap larut malam. Phearun pun akhirnya tetap menerima kami.

Kami menutup hari itu dengan Phearun yang mengajak kami makan-tengah-malam di warung nasi goreng rumahan yang porsinya dua kali lipat dari yang di Indonesia.
2015: Siem Reap – Ho Chi Minh City
Aku duduk dengan jantung dagdigdug di dalam taksi itu.
Rangkaian perjalanan Indocina memang benar-benar membekas kuat di memori, selalu ada cerita di setiap negara dan kota. Tak terkecuali saat aku dan Dicky tiba di Ho Chi Minh City, Negeri Paman Ho.

Sudah jelang larut malam ketika kami menjejak Pham Ngu Lao Street, sentra pelancong dan wisata di Saigon. Bus yang memberangkatkan kami dari Siem Reap, Kamboja, terlambat sampai. Setelah drama membeli SIM card lokal, mengambil uang di ATM, dan selalu gagal menghubungi host Couchsurfing yang semula sudah setuju menampung kami, singkat cerita kami berangkat ke rumah host dadakan kami bernama King. Oh, betul. Aku broadcast pesan meminta tolong ke host-host lain yang tadinya sudah setuju. King-lah yang akhirnya bersedia.
Kami masuk ke dalam taksi lokal tanpa tahu ke mana diri ‘kan dibawa. Aku hanya menyodorkan henfon ke pak sopir, dan biar King yang menjelaskan alamatnya.
Taksi pun melaju menjauhi hiruk pikuk Pham Ngu Lao dan Bui Vien, mengarah ke pinggiran kota. Lima menit, 10 menit, dan belum kunjung sampai, kami mulai bertanya-tanya. Entah di menit ke berapa kami akhirnya bertanya ke pak sopir, “Berapa lama lagi?” Yang hanya dijawab dengan menunjukkan angka 9 dengan jemarinya.
Sial, sopirnya nggak bisa bahasa Inggris sama sekali. Apa pula maksud jawabannya itu? Sembilan menit, 9 km, atau 9 apa?
Jantungku berdesir ketika kami melalui jalanan lebar serupa jalan layang tol Jakarta-Tangerang dengan blok-blok apartemen di kanan-kiri. Aku melirik ke argometer yang angkanya kian bertambah, harap-harap cemas agar ongkosnya tak lebih mahal dari beberapa lembar Dong yang kuambil di ATM.
Pak sopir pun tak sepenuhnya paham daerah tujuan. Ia sempat memutar arah, bertanya pada warga lokal, dan memintaku menghubungi King lagi. Yah, Ho Chi Minh City atau Saigon memang kota besar.
Akhirnya, kami sampai di destinasi, di mana King sudah siap siaga di depan rumahnya yang ramping menjulang khas rumah-rumah Vietnam. Sayangnya, ada 1 masalah lagi. Ongkos taksi membengkak, dan uangku tak cukup. Sialnya lagi, pak sopir tak menerima sisa-sisa lembaran USD yang masih ada pada Dicky.
Mau tak mau, dengan muka memelas dan sangat tidak enak, aku minjem duit dulu sama King.
TAMU MACAM APA KAU, GIE? UDAH DADAKAN, NYAMPE TENGAH MALEM, GAK BAWA OLEH-OLEH, BELUM MASUK RUMAH EH UDAH MINJEM DUIT 😂😂😂

Syukurlah King berbaikhati meminjamkan sedikit uangnya. Masalah teratasi, pak sopir pergi, dan kami bergegas mengistirahatkan diri.
2019: Haikou – Sanya
Aku duduk bengong sendirian di tengah warga lokal Tionghoa yang memadati kereta siang itu, berisik dengan bahasa lokal mereka sendiri.

Berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya, perjalanan antarkota kali ini terjadi dalam lingkup 1 negara. Cina. Walaupun lebih singkat, namun tetap berkesan karena menghadirkan pengalaman baru: pertama kalinya naik kereta cepat atau high speed railway!
Pemesanan aku lakukan secara online di website Trip.com dan ChinaTravelGuide. Panduan selengkapnya bisa klik di sini.
Dahiku mengerut ketika melihat banyaknya aksara hanzi di sekeliling dan minim sekali aksara latin. Aku menghampiri salah satu loket, lalu menunjukkan print out bukti pemesanan beserta lembar surat singkat dari pihak OTA yang intinya berisi keperluan kita dalam aksara dan bahasa Tionghoa. Surprisingly, proses berjalan lancar dan singkat, nyaris tanpa berkomunikasi lisan. Tiket di tangan, dan aku masuk ke dalam bangunan stasiun.

Tibalah saat untuk masuk ke dalam peron keberangkatan, mengikuti passenger announcement yang digaungkan melalui pelantang. Jelang jam keberangkatan, penumpang baru diperbolehkan memasuki peron. Saat itu jelang siang hari, jam-jam favorit banyak umat manusia, dan aku berjejalan dengan ratusan calon penumpang yang memadati pintu keberangkatan.
Jiah, ternyata harus scan kartu penduduk Cina di entry gate. Aku coba scan paspor, tapi gagal (tentu saja). Di tengah kepanjkan, aku tetap tenang, dan melihat ada VIP Gate tanpa pemindai di entry gate terujung. Akhirnya aku dorong badan ini melawan arus, melalui desakan orang-orang menuju entry gate itu.
Aku bisa merasakan ada yang mendorong-dorong badanku ke samping agar segera lenyap dari jalur antriannya. Yeah, welcome to China, the world’s most populous country!
Tidak seperti bayanganku, tapi tetap duduk dengan selamat di dalam kereta. Kursiku berada di lorong, 2 orang di sebelah kanan adalah warga lokal. Aku tak bisa menikmati pemandangan, dan menghabiskan waktu dengan mengamati keriaan kereta yang penuh dan berisik.
Syukurlah, untuk perjalanan Sanya-Haikou, aku memesan tiket 1st Class, sehingga bisa menikmati kereta yang lebih nyaman, selesa, dan tenang. Dalam gerbong kereta itu, rasanya hanya ada aku dan satu penumpang lain. Aku juga jadi bisa menikmati pemandangan dan mengabadikan momen.

Ngomong-ngomong, tiba di Stasiun Kereta Api Sanya membuatku bisa melihat low floor tram yang modern untuk pertama kalinya (bukan tram ding-ding jadul seperti yang ada di Hong Kong). Sayang, Sanya Tram itu belum beroperasi saat itu (November 2019), namun saat ini sudah.
Untuk perjalanan kembali ke Haikou ini, aku membeli tiket perjalanan pagi. Aku checkout dari hostel saat pagi masih gelap, lalu naik ojek ke stasiun menerabas dinginnya udara Hainan di bulan November. Yah, meski nggak ada musim dingin di Hainan, tapi masih kecipratan dikit-dikit lah dari Mainland China.
Belakangan, aku mendapat banyak kabar bahwa pembatasan terkait COVID-19 di negara-negara tetangga, bahkan sedunia, berencana dilonggarkan. Setidaknya Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina sudah ada lampu hijau. Singapura malah kabarnya sudah menerima penerbangan non-VTL (Vaccinated Travel Lane), membuat perjalanan ke Singapura di masa pandemi jadi lebih terjangkau dari sebelumnya.

Baru tahu juga kalo sekarang Pegipegi melayani pembelian tiket pesawat terbang ke luar negeri. Berhubung aku lagi ada banyak benefit dari OTA satu ini, pankapan aku cek-cek dan bandingkan deh. Ini bukan tulisan berbayar, btw. Jadi, negara mana yang akan pertama kali kamu sambangi di masa pandemi ini?
Duuuh aku inget banget siksaan pas dari Bangkok ke Kamboja naik train ekonomi 🤣🤣🤣. Jujur sampe skr aku bingung kenapa bisa kerasukan pesenntiket kereta kesananya e, ekonomi pula 🤣🤣🤣. Tapi seru kalo diinget skr jari bahan ketawaan suamiku. Krn dia tahu aku biasanya manja dan hrs yg bagus transportnya, kenapa malah kereta api , sampe ada acara ternak ikut masuk wkwkwkwkkw.
Yg bakal pertama aku datangin rasanya Iran mas. Soalnya ini udh yg reschedule sejak 2020 😂😂..
Hahaha ternak apa tuh, mbak? Pas naik kereta dari Bangkok ke Kamboja juga kereta sempet macet jalan karena ada sapi wkwkwk.
Whoa Iran, interesting!
Perjalanan darat saya yang lumayan berkesan sih dari Bandar Seri Begawan ke Kota Kinabalu, makan waktu 8 jam, keluar masuk bus untuk clearance imigrasi, dapet 8 cap 😅
Keluar Brunei – Masuk Sarawak,
keluar Sarawak – Masuk Brunei,
Keluar Brunei – Masuk Sarawak,
dan terakhir keluar Sarawak – Masuk Sabah.
Perjalanan yang baru tereksekusi 6 bulan setelah perjalanan pertama gagal karena macet tol bandara yang bikin saya literally nangis di terminal 3 😂
Ada juga perjalanan MTR Hongkong ke Shenzen, hari minggu, one day trip, buat keliling Shenzen, visit Museum, visit Masjid, visit taman hiburan, langsung balik sorenya ke HKIA buat terbang, nyampe Senin Subuh di Jakarta dan langsung kerja
Whew I had that much energy back then 🤣
Perjalanan darat lainnya dari Osaka – Tokyo – Hakodate pake 2 shinkansen dari sore sampai malam, disambung paginya Hakodate – Sapporo pakai kereta listrik lokal demi ikut Sapporo Snow Festival. Yeah It would be faster naik pesawat tapi memang saya mencari seni perjalanan HSR nya 🙈
Dan somehow sekarang gara-gara trending Rusia-Ukraina, jadi ngarep suatu saat ketika dunia membaik bisa ada kesempatan naik “kereta pesiar” Trans Siberian Moscow – Ulan Baatar – Beijing
Ngarep aja dulu ye kan 🙈
Wuih, perjalanan darat dari Brunei ke Sabah juga salah satu impianku dulu, mas. Sekarang nggak terlalu sih hehe.
Sama, pas 2019 balik dari Hong Kong, ngemper semalem di KLIA, ambil flight pagi ke Bandung, dan langsung ke kantor bahahaha. Miss that moments..
Ngehalu gak bayar kok mas, bebaskeun!